Monica Linda Permatasari

Parent Category: Artikel
Created on Friday, 20 January 2012 02:35
Last Updated on Thursday, 12 April 2012 06:13
Published Date
Written by Administrator
Hits: 2402

Hidup Monica Linda Permatasari adalah inspirasi. Terlebih bagi tuna netra dan penyandang cacat lainnya. “Setiap detik saya berharap kepada Tuhan,”katanya mengawali wawancara dengan Bahana di rumahnya di Bekasi.


Monica Linda Permatasari

Sebuah awal
Ayunan yang mengayunkan tubuh kecilnya putus. Tubuh Linda terhempas. Kepalanya membentur keras ujung lantai. Kejadian siang sepulang sekolah di Belitung, September 1980 itulah awal dari kebutaannya. 

Setiap bangun tidur selalu muntah. Apapun juga yang dimakan keluar bahkan terkadang dari hidung. Pandangan Linda kabur. Menurut dokter, pendarahan otak. Melihat kondisi yang memburuk, orangtuanya membawanya ke Jakarta. 

Di Jakarta proses pengobatannya pun tak mulus. Beberapa rumah sakit menolak. Salah satu rumah sakit mau menanganinya. Hasil rongent, pendarahan berat dan harus segera di operasi. 

Perawat mengambil darahnya. Ketika jarum suntik masuk di jari Linda, penglihatannya gelap total. Setelah operasi dilakukan, keadaan memburuk. Lemas tanpa daya. Ia lumpuh. Terapi dilakukan supaya bisa berjalan kembali. 

Linda menjalani pengobatan di Singapura. Namun karena keterbatasan dana maka kembali ke Belitung dengan kondisi mata tetap buta. 

Secara medis tak dapat disembuhkan, Linda belajar huruf braille. Ia pantang menyerah, harus tetap bersekolah! Di Belitung tidak ada SMP untuk tuna netra, ia ke Jakarta. 

Setamat SMP, Linda melanjutkan ke SMA. Waktu itu belum ada SMA untuk murid-murid berkebutuhan khusus sepertinya. Tidak ada pilihan. Mau tak mau di sekolah umum. Tapi ternyata banyak SMA yang menolak menerima murid tuna netra seperti dirinya. Menjelang penutupan pendaftaran, SMA St. Yosep Mangga Besar menerimanya. Senang bukan main. 

Linda pasti tak bisa lupa dengan teman-teman yang menolongnya membacakan tulisan guru di kelas, membacakan buku pelajaran atau pun sekedar menuntunnya. Begitu pula waktu beberapa kali ditolak pemilik kost karena buta. Bu Milly, seorang notaris dan pekerja sosial membantunya memberikan tempat tinggal. Bahkan akhirnya sampai 10 tahun tanpa bayar sedikitpun. “Setiap kali ada tantangan, Tuhan memberi jalan keluar,” akunya suatu kali. 

Keinginan belajar Linda tak sampai berhenti di SMA. Setelah lulus Ia ingin kuliah. Sedangkan dana tak mencukupi. “Atas dorongan sahabatku, Mimi, aku bicara pada pihak yayasan untuk minta keringanan. Tuhan mengabulkan harapanku.” Bahkan ketika semester II, pihak kampus memberikan beasiswa 100%. Lulus IP di atas 3. 

Bertemu Kekasih
Persoalan yang dihadapi membuat kelahiran Belitung, 16 Juli 1973 makin kuat. Menerima kebutaan dengan lapang. Rasa syukur di hatinya mengubur semua tanya tentang kebutaannya. Linda telah menjadi lilin di tengah gelap. Ia menjadi tempat curhat bagi penyandang cacat. Tak lelah menyemangati hati frustasi karena keterbatasan fisik. 

Bersaksi melewati hari-hari gelap dalam hidupnya. Ia bertemu dan mengenal banyak orang. Tahun 2003, pelayanan juga yang mempertemukannya dengan Budi Prasetya Santosa. “Kami saling suka. Tapi tak lama Ko Budi ambil jarak, menjauh. Aku sangat ngerti, tidak mudah untuknya. Bagaimana dia menghadapi teman-teman terlebih orangtuanya? Pastilah ada yang menyatakan apa tidak ada wanita lain? Kenapa tuna netra?” 

Dua tahun kemudian, tahun 2005 mereka bertemu kembali dan mengambil keputusan untuk pacaran. Persoalan lama tetap menjadi masalah. Bagaimana kata orang dan keluarga Budi? Mereka tahu betul yang akan dihadapi bukanlah perkara mudah. Apakah mereka mampu melewati itu semua? “Lalu kami sepakat tidak bertemu selama 40 hari untuk doa dan puasa. Sungguh-sungguh berdoa, minta pertolongan Tuhan.” 

Usai doa puasa keduanya mantap untuk serius sampai ke pernikahan. Masalah selanjutnya adalah bagaimana Budi mengenalkan Linda kepada orangtuanya. Ide jitu muncul. Budi memberikan kaset kesaksian Linda. Mereka terharu dan kagum mendengar perjuangan Linda. Lain waktu Budi membawakan album rohani yang dinyanyikan Linda. Akhirnya orangtua Budi merasakan kedekatan anaknya dengan wanita tuna netra gigih yang pantang menyerah itu. Budi pun menyampaikan hubungan istimewa di antara mereka. 

Sudah bisa di tebak, orangtua Budi kaget bukan main. Namun tak lama, mereka akhirnya setuju. Maret 2007 tunangan di Belitung. “Keluarga Ko Budi sayang sama aku..” ungkap Linda. 

19 Mei 2007, pernikahan kudus Linda dan Budi di langsungkan di Jakarta. Janji nikah diucapkan dalam percaya bahwa mereka bisa melewatinya bersama-sama. Resepsi pernikahan tak kalah menyentuh karena puluhan penyandang cacat ada di sana ikut menjadi saksi pernikahan agung itu. Orangtua, adik-adik dan ipar dari Budi mempersembahkan pujian. Kuasa Tuhan telah memampukan mereka menerima Linda menjadi bagian keluarga mereka. 

Kehadiran Anak
“Kami bersyukur segera diberi anak, usia kami kan tidak muda lagi waktu menikah,” katanya sambil memeluk Andrew. Kehadiran Andrew adalah kebahagiaan tak hanya untuk Budi dan Linda tapi juga keluarga besar mereka. Mengurus anak bagi Linda tentu pengalaman tersendiri. “Waktu pakai termos tuang, tanganku kerap kena air panas. Lalu pakai termos pencet, lumayanlah.” Linda belajar bisa melakukan apa saja yang bisa dilakukan oleh ibu normal. “Sampai Andrew umur sebulan mamaku yang ngurus. Disitulah aku latihan. Pertama-tama sih takut banget mandiin, nyemplungin ke ember. Akhirnya pakai dua baskom, satu air sabun dan satu lagi untuk membilasnya. , Sekarang sih bisa,”ujarnya sambil tertawa. 

Dalam keterbatasan, Linda berusaha semampu mungkin mengurus rumah tangga. Menjadi istri dan ibu yang baik. “Setiap detik berharap pada Tuhan. Aku perlu pertolonganNya. Paling sedih kalau aku sakit seperti belum lama ini. Sempat nggak bisa bangun, aku nangis, Tuhan Tolonglah….kasihan Andrew .” 

Linda sudah bisa mengurusi Andrew dari memberi minum, menyuapi, memandikan bahkan membersihkan BAB. “Aku sering bilang pada Andrew, mama tidak bisa lihat Andrew, maaf kalau masih belepotan. Dan Andrew seperti mengerti kalau mamanya tuna netra. Dia anteng setiap kali saya bilang, tenang ya…Biasanya saya minta tolong Ko Budi, adik atau mama ngeliatin aku pertama kali melakukan sesuatu yang baru.”

Inilah pertama kali Linda merayakan Natal bersama Andrew. “Aku ingin Natal lebih banyak bersama keluarga bersekutu bersama,” harap pemilik album pujian dan kesaksian Monica Linda. 

Budi, suaminya adalah konselor di Gereja Methodis, jebolan S2 Sekolah Tinggi Teologi Reformed Injili. “Linda itu orangnya positif. Tidak gampang menyerah. Ia berjuang agar tidak bergantung pada orang lain. Menikah dengan siapa pun tantangan selalu ada pada setiap pasangan kok. Terutama tantangan problem komunikasi. Pasangan harus selalu belajar dan terutama melibatkan Tuhan dalam keluarga,” tutur Budi. 

Soal pernikahan dengan Linda, ada benang merah yang Budi lihat. Waktu kecil ia sering melihat anak YPAC. Hatinya selalu tersentuh, kala masih bocah ia sudah punya keinginan bisa menolong orang lain, ingin punya panti asuhan. Panggilan khusus, demikian Budi memberi istilah bagi mereka yang menikah dengan penyandang cacat. “Tuhan memberikan rasa ‘greng’ padanya. Linda adalah permata saya…,” kata Budi tertawa disambut senyum Linda yang memangku Andrew Christopher Prasetya yang juga tertawa terkekeh-kekeh. 

Sumber: Majalah Bahana, Desember 2008

joomla 2.5